Kehancuran dan Penderitaan: Realita Kemanusiaan di Gaza Saat Ini

Nov 17, 2025 | Wawasan

Kehancuran dan Penderitaan: Realita Kemanusiaan di Gaza Saat Ini

Lanskap Kehancuran yang Tak Berkesudahan

Gaza, sebuah wilayah di tepi Laut Tengah, telah mewakili penderitaan dan keputusasaan dalam skala global. Lebih dari dua juta penduduknya terperangkap dalam sebuah kenyataan pahit: hidup di bawah konflik yang tak henti, infrastruktur yang hancur, dan blokade yang telah berlangsung sangat lama. Udara yang mereka hirup penuh dengan debu reruntuhan, sementara jalanan yang dilalui telah berubah menjadi pemakaman massal bagi bangunan-bangunan beserta segala kenangan di dalamnya. Di balik itu, luka di hati penduduknya menganga, meninggalkan bekas yang dalam dan mungkin takkan pernah pulih. Melalui artikel ini, kita akan menyelami lapisan-lapisan krisis multidimensi yang menghantam Gaza. Tujuannya adalah untuk menyingkap realita kemanusiaan yang mendesak dan tidak boleh lagi kita abaikan. Pada akhirnya, persoalan di Gaza bukan semata tentang politik atau pertikaian bersenjata, tetapi tentang hak yang paling mendasar bagi setiap manusia: hak untuk hidup dengan aman dan bermartabat.

(Gambar 1. Dampak Penghancuran)

Lapisan-Lapisan Krisis yang Menghimpit Kehidupan di Gaza

  1. Duka di Bawah Puing-Puing Gaza

    Setiap eskalasi konflik mengubah Gaza menjadi landscape kehancuran. Serangan udara yang tak henti tidak hanya meratakan rumah, tetapi juga sekolah, tempat ibadah, dan pusat perekonomian warga. Ribuan keluarga terusir dari tempat tinggalnya, berpindah-pindah tanpa tahu tujuan yang benar-benar aman. Banyak dari mereka akhirnya mencari naungan di sekolah-sekolah PBB atau tenda pengungsian yang sesak dan minim fasilitas. Narasi harian pun dipenuhi oleh kisah pilu, seperti seorang ayah yang berusaha menggali puing dengan tangan kosong untuk menemukan anaknya, atau seorang ibu yang terpaksa membuat pilihan yang tak terbayangkan di tengah kepanikan. Dalam situasi ini, angka korban jiwa yang didominasi oleh wanita dan anak-anak bukan lagi sekadar statistik, melainkan bukti nyata dari sebuah tragedi kemanusiaan yang masif
  2. Sistem Kesehatan yang Tumbang

    Infrastruktur kesehatan Gaza, yang sudah lemah akibat blokade panjang, kini nyaris tidak berfungsi. Rumah sakit bergulat dengan pemadaman listrik, kelangkaan bahan bakar untuk generator, dan yang paling kritis, habisnya stok obat-obatan penting serta perlengkapan medis (WHO, 2024). Para tenaga medis harus bekerja tanpa henti dalam kondisi mengerikan, sampai-sampai harus melakukan tindakan operasi dengan anestesi yang terbatas dan merawat pasien di lorong-lorong yang penuh. Tragisnya, fasilitas kesehatan ini sendiri kerap menjadi sasaran serangan, menghilangkan tempat perlindungan terakhir bagi para korban luka (Human Rights Watch, 2023). Ditambah dengan sistem sanitasi yang buruk dan kepadatan di tempat pengungsian, wabah penyakit dengan mudah merebak, menambah daftar beban yang sudah tak tertahankan (PCP, 2024).
  3. Ancaman Senyap: Kelaparan dan Krisis Air Bersih

    Di balik gemuruh ledakan, ancaman diam-diam yang sama mematikannya adalah kelaparan dan dehidrasi. Blokade ketat memutus akses terhadap pasokan makanan, bahan bakar, dan air bersih. Akibatnya, harga kebutuhan pokok melambung tinggi dan sulit dijangkau masyarakat (WFP, 2024). Tidak sedikit keluarga yang harus bertahan dengan hanya sekali makan sehari, itupun dengan gizi yang sangat minim. Akses kepada air layak minum menjadi kemewahan. Rusaknya saluran dan instalasi pengolahan air memaksa warga mengonsumsi air yang telah tercemar, yang memicu merebaknya penyakit seperti diare, kolera, dan infeksi kulit (UNICEF, 2024). Para ahli mengibaratkan krisis pangan dan air ini sebagai bom waktu yang potensial merenggut lebih banyak nyawa daripada kekerasan senjata (ERC, 2023).
  4. Masa Depan yang Direnggut dari Genggaman Anak-Anak

    Mungkin yang paling menyentuh hati adalah keadaan anak-anak Gaza. Mereka tidak hanya kehilangan orang tua, rumah, dan rasa aman, tetapi juga masa kecil dan masa depan mereka. Gedung-gedung sekolah hancur, aktivitas belajar terhenti, dan trauma psikologis yang mereka alami begitu mendalam (Save the Children, 2024). Banyak dari mereka menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD) berat, dengan gejala seperti mimpi buruk, mengompol, rasa cemas berlebihan, dan kecenderungan untuk menyendiri (Gaza Community Health Programme, 2023). Mereka tumbuh dalam lingkungan di mana kekerasan dianggap biasa, sebuah warisan kelam yang sulit diputus. Pada akhirnya, generasi ini adalah generasi yang terampas tanpa pendidikan yang memadai, tanpa harapan, dan dibesarkan di antara bayang-bayang kematian serta kehancuran.

(Gambar 2. Aksi Protes di Tengah Asap)

Seruan untuk Kemanusiaan dan Sebuah Harapan yang Tertahan

Situasi di Gaza menjadi bukti piluh betapa rapuhnya peri kemanusiaan ketika konflik bersenjata dijadikan jawaban. Di tanah yang terluka, berbagai krisis justru saling mengunci dalam sebuah siklus penderitaan: bangunan-bangunan hancur, sistem kesehatan kolaps, ancaman kelaparan meluas, dan trauma mendalam pada anak-anak menjadi warisan yang terus dipupuk.Di tengah keputusasaan, bantuan kemanusiaan hadir sebagai nyala harapan terakhir. Lembaga-lembaga lokal dan internasional, termasuk Filantra, terus bergerak di garis depan untuk mendistribusikan bantuan mendesak, mulai dari makanan, air bersih, obat-obatan, hingga tempat berlindung. Sayangnya, niat baik ini sering kali terhambat oleh akses yang sangat terbatas dan situasi keamanan yang tidak bisa diprediksi .Maka, seruan untuk gencatan senjata yang berkelanjutan dan jalan lancar bagi bantuan kemanusiaan bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan yang mendesak. Dunia tidak boleh hanya menjadi penonton yang diam. Dalam kondisi seperti ini, setiap donasi, setiap suara yang menggaungkan perdamaian, dan setiap desakan untuk solusi yang adil adalah kontribusi nyata untuk memutus rantai penderitaan.Marilah kita ubah kepedulian menjadi sebuah kekuatan kolektif untuk mengembalikan secercah cahaya bagi saudara-saudara kita di Gaza. Sebab, pada akhirnya, di balik segala perbedaan, hanya kemanusiaanlah yang dapat menyatukan kita semua.

Referensi 

UNICEF. (2024). Water, Sanitation and Hygiene (WASH) Crisis in Gaza

Gaza Community Health Programme. (2023). Rapid Mental Health Assessment Report.

ERC. (2023). Integrated Food Security Phase Classification (IPC) Report: Gaza Strip.

Human Rights Watch. (2023). Attacks on Health Care in the 2023 Gaza Conflict.

WHO. (2024). Health Resources Availability Monitoring System (HeRAMS) Report.

WFP. (2024). Food Security Monitoring Report: Gaza Strip.

Save the Children. (2024). Trauma and Children in Conflict: A Case Study of Gaza.